Banner 468 x 60px

 

Minggu, 21 Agustus 2016

Mengapa malu dinafkahi Suami?

0 komentar

*Mengapa Malu Dinafkahi Suami?*

“Masa kita minta melulu sama suami? Malu lah…”
“Siapa sih yang gak pengen di rumah jagain anak aja? Tapi kan juga gak mungkin kita minta sama suami terus.”
“Wah saya ga biasa minta uang sama suami, mbak. Saya orangnya mandiri banget!”
“Kalau saya tidak kerja kantoran lagi, terus kalau mau beli apa-apa harus minta suami gitu? Wah gak banget!”
“Kaya’ ga punya harga diri gitu kita jadi istri kalau cuma bisa minta uang dari suami!”
“Wah bisa diinjak-injak suami kita kalau tidak berpenghasilan!”

…dan masih banyak lagi ungkapan serupa yang keluar dari seorang istri...

Seakan masuk akal, dan tidak sedikit yang meyakininya dengan sepenuh hati. Meminta uang pada suami adalah suatu hal yang menyedihkan.  Yang menurunkan harga diri. Yang diyakini nantinya akan membuat suami berhak semena-mena terhadap istrinya.

Sungguh sekali-kali tidak.

Dalam Q.S An Nisa:34, Allah berfirman:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”
(Qs. An Nisa’: 34).

Kata Qowamah yang disandingkan sebagai tugas suami pada ayat di atas tentu saja sama sekali tidak mudah. Salah satu Qowamah bagi suami adalah kewajiban menjadi sumber nafkah untuk keberlangsungan hidup keluarga. Nafkah yang memberi fasilitas hidup dan ketenangan bagi seluruh anggota keluarga.

Ayat ini sudah  dilupakan oleh banyak keluarga muslim. Sehingga para suami kehilangan kendali kepemimpinan dan kelayakannya sebagai pemberi nafkah keluarga. Pelan tapi pasti, kewibawaan suami menghilang hingga hampir-hampir sirna. Bahkan telah ada yang sirna. Tak ada lagi sorot mata berwibawa penuh makna yang tak perlu mengeluarkan instruksi tetapi telah dipahami istri dan dilaksanakan.

Sementara itu, istri mulai mendesak masuk ke wilayah laki-laki. Kekekaran dan keperkasaan perlahan mulai terlihat jelas. Lama-lama, istri tak lagi memerlukan suami. Karena ia bisa melakukan semuanya, tanpa suami. Suami hanya sesosok wayang yang tak bergerak. Hanya ketika diperlukan, suami dirasakan kehadirannya. Tetapi sering kali suami hanya pelengkap, mungkin penderita. Tak ada lagi kekaguman, keterkaitan, kewibawaan suami di hati istri.

Jika seperti itu keadaan kebanyakan keluarga hari ini, bukankah sangat wajar ketika rumah tangga retak dan kemudian rata dengan tanah.

(Dikutip dan dirangkum dari penjelasan Ust. Budi Ashari,Lc dalam buku “Kemana Kulabuhkan Hati Ini”).

***

Hmmm….Menarik bukan?

Demikianlah, ternyata suami yang memberi nafkah istrinya merupakan salah satu kunci keutuhan dan kebahagian rumah tangga. Jadi kenapa ragu menerima nafkah dari suami sepenuhnya? Bukankah kita justru membantu dan memfasilitasinya untuk menjalani tugas Qowamah nya?

Masih gengsi? Masih malu? Ah tak perlu lah itu…

PS. Pak Suami, istrimu siap lahir bathin menerima nafkah darimu yaaa….

Yuk ah buruan….yang halal supaya berkah, itu yang terpenting …

#kesindir abiizzzz..

Happy weekend All👍

0 komentar:

Posting Komentar