Banner 468 x 60px

 

Kamis, 28 Februari 2019

Muslimah hebat dari Abad pertengahan

0 komentar

*Beberapa Muslimah Hebat dari Abad Pertengahan*

*Mariyam “Al-Astrolabiya” al-Ijliya*

Maryam hidup sekitar Abad 10 masehi. Sayangnya, tidak banyak yang diketahui tentang identitasnya. Bahkan nama Mariyam pun adalah nama yang disandangkan padanya oleh the Syrian Archaeological Society. Dan “Al-Astrolabiya” tidak lain adalah julukan yang diberikan oleh para ilmuan Eropa kepadanya atas jasanya dalam bidang astronomi.[1] Orang-orang lebih banyak mengenalnya melalui karyanya yang luar biasa, yaitu Astrolabe.

Astrolabe yang berarti (star finder) atau alat pemburu bintang, adalah GPS pertama di dunia. Inilah alat pertama yang digunakan untuk menentukan lokasi, waktu (tahun, bulan dan tanggal), dan peredaran matahari. Menurut Harold Williams seorang ahli di bidang astrofisika (Astrophysicist), Astrolabe adalah alat penghitung astronomi yang paling penting sebelum komputer digital ditemukan, dan instrumen observasi astronomi yang paling penting sebelum teleskop ditemukan.[2]


Meski teknologi pembuatan Astrolabe ini sudah ditemukan sejak zaman Yunani kuno dan juga sempat dikembangkan oleh banyak ilmuan Muslim. Tapi Mariyam membuat desain dan teknik pembuatannya lebih rumit, inovatif dan lebih presisi.[3] Menurut Prof. Saleem Al-Husaini, yang dikutip dari Arab Times, “Mariyam adalah Muslimah pertama pembuat cikal alat transportasi dan komunikasi untuk dunia modern. Pekerjaan yang dilakukannya rumit dan berkaitan dengan persamaan matematis tapi ia mampu membuktikan kemampuannya dalam bidang ini”.[4]

Meski tidak banyak yang diketahui tentangnya, namun sosoknya begitu menginspirasi para ilmuan modern, khusus di kalangan ahli astronomi. Pada tahun 1990, seorang astronom bernama Hendry E. Holt menemukan sabuk utama asteroid 7060 di pusat observasi Palomar. Ia menamakan temuannya ini dengan ’Al-‘Ijliya’, untuk menghormati wanita hebat dari abad ke 10 Masehi ini.[5]

*Sutayta al-Mahamali*

Sutayta al-Mahamali adalah seorang ahli matematika. Kepakarannya di bidang ini bahkan di puji oleh banyak ulama pada zamannya seperti seperti Ibnu al-Jauzi, Ibnu al-Khatib Baghdadi, dan Ibnu Katsir. Ia hidup pada sekitar paruh kedua abad 10 masehi.

Sutayta berasal dari keluarga berpendidikan di Baghdad. Ayahnya adalah seorang hakim bernama Abu Abdallah al-Hussein. Ia adalah penulis beberapa kitab termasuk Kitab fi al-fiqh, Salat al-‘idayn. Pamannya adalah seorang sarjana Hadis, dan putranya adalah juga hakim bernama Abu Hussein Mohammed bin Ahmed bin Ismail al-Mahamli yang terkenal karena keputusan-keputusannya yang bijak.[6]


Kemahiran Sutayta dalam bidang matematika tak bisa dilepaskan dari peranan sang ayah, Abu Abdallah al-Hussein. Selain dibimbing ayahnya, Sutayta juga menimba ilmu matematika dari beberapa ahli matematika pada masa itu, di antaranya Abu Hamza bin Qasim, Omar bin Abdul Aziz al-Hashimi, Ismail bin al-Abbas al-Warraq, dan Abdul Alghafir bin Salamah al-Homsi.[7]

Sebenarnya, Sutayta al-Mahamali adalah sosok yang multi talenta. Ia dikenal berpengetahuan luas dalam banyak hal, memiliki kemahiran dalam bidang hadist dan syariah. Tapi dari semua itu, ia lebih dikenal sebagai pakar matematika, khususnya aritmatika. Aritmatika merupakan cabang ilmu matematika yang mengkaji bilangan bulat positif melalui penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian serta implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.


Pada masa itu, aritmatika menjadi cabang matematika yang berkembang cukup baik. Dan Sutayta salah satu ilmuwan yang berhasil memecahkan solusi sistem persamaan dalam matematika. Catatannya tentang sistem persamaan pun banyak dikutip oleh para matematikawan lainnya. Sutaita tutup usia pada tahun 987 M.

*Zaynab Shāhdā*

Disamping bidang keilmuan, para Muslimah hebat ini juga tak kalah prestasinya di bidang seni. Salah satu seni yang paling prestisius dalam dunia Islam adalah seni kaligrafi. Untuk mendapatkan gelar kaligrafer (Khattat), seseorang harus melewati jenjang pendidikan yang ketat, serta proses-proses belajar dan pelatihan yang panjang disertai disiplin yang tinggi. Bagaimana tidak, karena tujuan akhir dari seorang khattat adalah kemampuan untuk menulis ayat suci yang benar, dan tidak hanya sekedar benar, tetapi juga harus indah. Dengan demikian, seorang khattat, selain harus memahami Al-Quran dia juga memiliki kualifikasi tertentu.[8] Baru setelah berhasil melewati fase pendidikan yang berat ini, mereka layak mendapat ijazah kelulusan, yang sekaligus sebagai sertifikat keahliannya dalam bidang ini dan bisa di sebut Khattat. [9]

Salah satu kaligrafer yang paling menonjol di abad pertengahan adalah Zaynab Shāhdā binti Ahmad bin Al-Faraj bin Umar Al-Abrī. Selain seorang kaligrafer, Zaynab juga dikenal sebagai sosok yang berpengetahuan luas dan menguasai cukup banyak bidang ilmu, seperti hadist, syariah, dan sains. Dalam bidang kaligrafi, kompetensinya tidak tanggung-tanggung. Ibn Khallikān, yang dikenal sebagai sejarawan penting era ini, menulis bahwa Zaynab telah menerima pelajaran dan ijazahnya dari para ilmuwan penting di abad ke-5 Hijriah seperti Abu al-Hattāb Nasr bin Ahmad al-Butruvānī dan Abū ‘Abdullāh Hussain bin Ahmad bin Talha an-Niālī. Bahkan sumber lain juga menyebutkan bahwa Muhammad bin ‘Abdul Mālīk, dari sekolah Mesir, adalah gurunya.[10] Disamping kaligrafi, ia menghabiskan waktunya untuk belajar sains dan sastra. Zaynab Shāhdā meninggal di Baghdad, saat berusia hampir 100 tahun, pada hari Minggu siang, 13 Muharram, 574 H/1178 M. Ia meninggalkan beberapa karya di Baghdad dan sejumlah madrasah.


Selain Zaynab Shāhdā, masih cukup banyak Muslimah yang menggeluti dunia kaligrafi dan sastra dari abad pertengahan. Hilal Kazan menulis nama-nama mereka dalam bukunya “Female Calligraphers: Past & Present”. Beberapa diantaranya:

Duhtar-i ibn Mukla Shirāzī, yang hidup pada abad ke-10 masehi. Ia juga salah seorang guru kaligrafi yang cukup terkenal pada masanya. Seni kaligrafisnya memiliki sentuhan khas yang diwariskan secara turun temurun. Saat ini salah satu karyanya yang tersisa masih bisa dilihat di Mir ‘Imād Calligraphy Museum di Tehran, Iran.
Muznā, yang hidup pada abad  ke 10 masehi. Ia adalah salah satu juru tulis Khalifah al-Amir an-Nāsīr lī-Dīnillāh dan juga Abdurrahmān III (350/961). Namun sayang, tak satu pun dari karya-karyanya masih bertahan hingga hari ini. Ia meninggal pada 358/969.
Fātima, yang juga merupakan selir Khalifah Abdurrahman III. Ia hidup pada abad ke 10 masehi di Andalusia. Ia adalah salah satu kaligrafer yang mendapatkan kesempatan langka diperbolehkan menulis banyak buku dengan gaya tulisannya yang unik bagi Khalifah dan putranya Mālik Hakem II. Disamping itu, ia juga banyak menyalin banyak buku, baik buku sains ataupun seni.
Masih banyak lagi Muslimah-Muslimah hebat pada bidang ini yang ternyata sangat besar jasanya bagi pembangunan peradaban kita sekarang. Beberapa nama lain diantara mereka adalah; Safiyyā binti Abdurrabī’ (417/1026); Fātima binti Zakarīyā bin ‘Abdullāh as-Shebbarp (427/1036); terakhir adalah Fātima, putri Zakarīyā bin ‘Abdullāh, yang telah berhasil meng-copie banyak buku-buku penting dalam tulisan tangan yang indah, sehingga ringan dibaca oleh banyak ilmuan pada masanya. (AL)

Bersambung…

Read more...