Banner 468 x 60px

 

Jumat, 16 Agustus 2019

Kambing adalah Unggas, dan hubungan erat antara Niat baik dan hasil yang baik

0 komentar

KAMBING ADALAH UNGGAS

"Tarli, you tahu filosofi Al Fatihah?" pertanyaan itu dilontarkan oleh Dr. Hidajat Nataatmadja (1932-2009) pada sebuah obrolan Jumat lagi, nun bertahun-tahun silam, di sebuah hotel di bilangan Jalan Slamet Riyadi, Solo.

Setiap Jumat pagi, dua kali sebulan, saya akan menemuinya di tempat itu untuk mendiskusikan sejumlah hal. Di usianya yang lebih dari tujuh dekade, lelaki kurus berkepala hampir plontos itu masih sanggup pulang pergi Bogor-Solo untuk mengajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pagi itu, saya yang ditanya hanya bisa mengangkat alis.

"Al Fatihah menjadi ummul kitab karena tujuh ayat itu mengajarkan konstruksi nilai yang sangat dasar, yaitu bahwa tujuan yang baik itu (ibadah) haruslah dikerjakan dengan cara yang baik (shirathal mustaqim) dan dimulai oleh niat yang baik pula (Bismillah)," ujarnya, sembari menghisap rokok kegemarannya, Dji Sam Soe.

"Itu konstruksi nilai yang tidak bisa ditawar. Bukan hanya dalam agama, tapi juga dalam ilmu pengetahuan. Tidak bisa niatnya saja yang baik, namun jalannya tidak baik. Begitu juga halnya dengan hasil baik, belum tentu bernilai ibadah, karena bisa jadi hasil baik itu sesungguhnya bermula dari niat yang tidak baik. Jadi, konstruksi dan konsistensi nilai tadi sangat penting," jelasnya.

Saya mengangguk-angguk.

"Jika konstruksi nilainya tidak konsisten, mustahil kita akan sampai pada 'kebenaran'. Yang akan kita temui paling hanyalah 'kebetulan-kebetulan' belaka."

Lalu Hidajat bercerita tentang "Doktrin Instrumentalisme Friedman". Friedman yang dimaksud adalah Milton Friedman.

"Bagi Friedman, ilmuwan dianggap tidak perlu untuk menguji konsistensi logika dari suatu perangkat aksiomatika, atau asumsi dari sebuah teori, melainkan cukup menguji implikasi empiris yang diturunkan dari perangkat aksiomatik ataupun teori tersebut. Jadi, menurut Friedman, asumsi boleh saja palsu, asalkan teorinya bisa menghasilkan prediksi yang akurat. Bagi saya, itu seperti ilmu sulap, di mana orang tidak perlu menerangkan atau bertanya mengenai apa yang sebenarnya terjadi, cukup diterima saja apa yang nampak. Bagaimana tukang sulap bisa mengubah batu menjadi merpati tidak penting untuk ditanyakan. Dan batu itu bisa bernama 'homo economicus', bisa juga bernama 'pasar persaingan sempurna'," ujar Hidayat, sembari terkekeh prihatin.

Pandangan Friedman yang sedang dikritik Hidajat adalah pandangan sebagaimana yang ditulis ekonom Chicago itu dalam bukunya, "Essay in Positive Economics" (1953), sebuah buku klasik yang juga terpajang di kamar saya sejak awal-awal kuliah dulu.

Saya teringat kembali pada percakapan dengan Pak Hidajat itu gara-gara membaca komentar-komentar yang berseliweran di timeline sejak kemarin. "Mau menteri atau bahkan presiden berkewarganegaraan apapun, saya tidak masalah, asal tidak korupsi dan sanggup menyejahterakan masyarakat". Demikian salah satunya. Lontaran itu mirip dengan pernyataan ini: "apapun ideologinya tidak penting, yang penting bisa menyejahterakan masyarakat".

Jika pernyataan-pernyataan itu dilontarkan orang awam, kita barangkali akan maklum. Tapi karena pernyataan-pernyataan itu dilontarkan oleh orang-orang yang sebenarnya sangat terdidik, tak urung dahi saya jadi berkerut.

Bagi saya, lontaran-lontaran itu tak ada bedanya dengan pernyataan, "Mau ayam atau babi, yang penting halal"; atau "Mau ayam atau kambing, yang penting unggas". Banyak orang tidak menyadari jika setiap tujuan selalu memiliki andaian mengenai cara pemenuhannya, dan setiap kategori nilai selalu memiliki batasan dan syarat. "Halal", sebagaimana halnya "unggas", adalah sebuah kategori yang memiliki batasan dan syarat, di mana baik babi maupun kambing tidak memenuhi batasan dan syarat yang telah ditetapkan itu.

Hal yang sama juga berlaku bagi "menyejahterakan masyarakat". Untuk menyejahterakan masyarakat agraris tentu saja berbeda caranya dengan menyejahterakan masyarakat nelayan; menyejahterakan masyarakat daratan berbeda caranya dengan menyejahterakan masyarakat kepulauan; menyejahterakan negara bekas koloni pasti berbeda cara dengan menyejahterakan negara bekas imperialis; demikian seterusnya.

Persis di situ, untuk menyejahterakan masyarakat kita terikat pada hal-hal spesifik di mana tak semua kerangka generik akan bisa diterima. Singkatnya, "menyejahterakan masyarakat" merupakan sebuah kategori nilai yang pasti memiliki batasan dan syarat, di mana tak semua jalan boleh dan bisa ditempuh untuk mewujudkan nilai tersebut. Jika batas dan syarat itu dilanggar, maka kita akan ketemu kekacuan penalaran. Bagaimana bisa seekor kambing, misalnya, dianggap sama sebagai unggas?!

Negara, hukum, kewarganegaraan, ideologi, imigrasi, di atas kertas memang hanyalah soal administrasi. Tapi administrasi adalah cara manusia mematerialkan batas-batas dan syarat-syarat untuk melindungi nilai-nilai yang hidup bersamanya. Jika kebangsaan dianggap sebagai imajinasi, maka pernyataan bahwa "kita adalah anak kandung kebudayaan dunia", yang menganggap bahwa identitas kebangsaan adalah sejenis omong kosong, sesungguhnya juga tidak kalah imajiner dan omong kosongnya.

Kita memang lahir ke dunia ini dalam keadaan telanjang. Tapi dengan apa tubuh telanjang kita pertama kali akan ditutupi, dengan batik, ulos, lurik, songket, atau sasirangan, sangat tergantung pada tempat di mana kita lahir.

Sayangnya, doktrin instrumentalisme Friedman kini sepertinya kian menyegala, tak hanya hidup dalam tembok ilmu ekonomi. Banyak orang kini tak lagi melakukan problematisasi atas keyakinannya. Konsistensi dan koherensi antara niat, cara dan tujuan tidak lagi penting untuk diperhatikan.

Ketika orang berpikir bahwa setiap tujuan bisa menghalalkan semua cara, persis di situ saya akan teringat kembali pada obrolan dengan Dr. Hidajat mengenai filosofi ummul kitab tadi.

Sumber: FB Tarli Nugroho

Read more...

Rabu, 07 Agustus 2019

9 Fakta Pondok Modern Darusssalam Gontor yang patut ditiru lembaga pendidikan se - Indonesia

0 komentar

*9 Fakta Pondok Modern Gontor Yang Harus Ditiru Lembaga Pendidikan se-Indonesia*

(Role Model Pesantren dan Sekolah Masa Depan)

Mungkin belum banyak orang yang tahu tentang pondok modern Gontor ini. Letaknya jauh dari keramaian kota dan asing dari publikasi media menambah keasingan orang dalam mengenal pesantren yang telah berdiri sejak 93 tahun silam.

Namun, bagi para pendidik, kiprahnya sudah tidak diragukan lagi. Hal itu tidak lepas dari nilai dan sistemnya yang tergambar dalam 9 hal berikut:

*1. Wakaf*

Pendirinya mewakafkan seluruh harta warisan orang tua untuk pondok. Dengan itu, bukannya ponpes kian surut dan pendiri menjadi melarat.

Pesantren justru tambah berkembang pesat, meluas, serta mandiri dalam segala hal.

Sementara itu, para kyai pendiri, meskipun tidak digaji oleh pondok, dapat hidup dan menghidupi keluarganya dengan cara hidup sederhana.

Dengan statusnya sebagai wakaf, siapapun termasuk anak keturunan dari kiyai tidak bisa mengambil alih, mengklaim, menjual pondok. Gontor tidak bisa diakuisisi dan dipolitisasi kepentingan ormas dan partai tertentu.

Para ilmuwan yang pernah meneliti wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor mengatakan bahwa Gontor memiliki sistem pengembangan wakaf produktif, yang dengan sistem tersebut wakaf berkembang, bukan malah berkurang

*2. Visioner*

Pendiri mencanangkan Panca Jangka; Pendidikan dan Pengajaran, Kaderisasi, Khizanatullah, Pergedungan, dan Kesejahteraan Keluarga sebagai pedoman yang memudahkan kyai atau Pimpinan Pondok dan generasi penerus mengemban amanah, mengendalikan haluan.

Siapapun yang akan memimpin harus berpedoman pada Panca Jangka tersebut agar tidak lepas dari jalur yang semestinya.

Panca Jangka ini acuan para pengelola ponpes tentang apa saja yang harus dilakukan untuk masa depan.

Semua yang dikerjakan harus berpendidikan dan untuk pendidikan. Pengajaran harus selalu berjalan, karena pengajaran adalah nafas lembaga pendidikan. Selalu harus ada kader penerus pendidikan di Gontor, mesti ada ahli di bidang tertentu untuk setiap generasi, ajal silih berganti datang. Pesantren harus mandiri, tidak boleh bergantung dan terikat pada siapapun dalam urusan finansial. Jiwa berkembang, fisik juga harus berkembang.

"Kereta boleh berganti, tapi relnya tidak boleh bergeser."

*~K.H. Hasan A Sahal*

*3. Orientasi Pendidikan*

Secara konsisten, ponpes mengadakan Pekan Perkenalan Khutbatu-l-‘Arsy (P3KA) setiap awal tahun pelajaran.

Saat itu kyainya mengajarkan dan berbicara dengan lantang, konsekuen, dan konsisten tentang jiwa-jiwa pesantren (Keikhlasan, Kesederhanaan, ukhuwwah Islamiyah, kemandirian, dan Kebebasan) sebagai filsafat hidup, pandangan hidup, dan jalan hidup kepada para santrinya.

Bukan hanya itu. Beliau juga siap menjadi contoh nyata yang dapat dilihat dan ditiru oleh para santrinya.

Sangat disadari oleh Pimpinan pondok bahwa pesantren dalam pandangan Gontor adalah lembaga pendidikan yang meletakkan kyai sebagai sentral figur dan masjid sebagai titik pusat yang menjiwai. Pekan Perkenalan ditujukan untuk “tajdidu an-niyat” alis penyucian niat bahwa kehadiran santri di ponpes untuk mendalami ilmu dan para ustadz mengajar bukan mencari penghidupan.

Mengenai P3KA, silakan baca artikel “OSPEK Pondok Modern Darussalam Gontor“.

*4. Mandiri*

Pondok tidak memasang advertensi atau iklan dalam penerimaan siswa baru, tetapi yang mendaftar tetap banyak. Umumnya sekolah, untuk menjaring siswa baru, akan memasang iklan dengan informasi tentang sekolah sebegitu rupa agar calon siswa mau mendaftar.

Mandiri di sini, Gontor tidak bergantung pada SPP santri untuk tetap hidup mendidik generasi. Dengan begini, setiap santri dan wali santri yang mendaftar merasa mereka tidak diundang, bahkan mereka yang berharap dapat diterima oleh Gontor.

*5. Tegas Berdisiplin*

Pondok menerapkan disiplin ketat, tanpa mengkaitkan dengan atau mempertimbangkan ketidakkerasanan santri. Artinya, dengan disiplin ketat, ponpes atau kyai tidak khawatir santrinya akan berkurang, kabur, atau tidak kerasan karena takut disiplin.

Logikanya, jika santri berkurang, pemasukan pondok juga akan berkurang, dst. Bagi Gontor, disiplin adalah mutlak.

Dengan disiplin, pembentukan atau pendidikan karakter akan berjalan dengan baik. Dengan tegas pula, Gontor justru mengatakan, “Kalau siap menerima disiplin, ya, silakan masuk Gontor, kalau tidak siap, silakan pulang saja!”.

"Tidak akan ada kemajuan tanpa kedisiplinan dan tidak ada kedisipilinan tanpa keteladanan."

*Kyai H Hasan A Sahal*

*6. Kemapanan*

Sistem Gontor kokoh dan tetap konsisten dengan sistem Kulliyyatu-l-Mu‘allimin al-Islamiyyah (KMI) 6 tahun sejak berdirinya, bukan dengan sistem SMP-SMA atau Tsanawiyah-Aliyah.

Dengan sistem tersebut, penilaian atau evaluasi terhadap siswa dapat dilakukan secara mandiri oleh pesantren, bebas intervensi pemerintah atau lembaga lain.

Ditambah dengan sistem asrama penuh, penanaman jiwa pondok dan pendidikan karakter benar-benar lekat dan dapat menjadi pegangan hidup, sistem pendidikan di kelas dan di luar kelas (asrama) berlangsung integral; guru di kelas adalah juga guru pembimbing di asrama.

*7. Berdikari*

Ajaran jiwa kemandiriannya membuat Gontor membalikkan (baca: meluruskan) paradigma, bahwa sebuah lembaga itu “disumbang karena maju, bukan maju karena disumbang”.

Kemandiriannya dalam hal pendanaan dan sistem pendidikan membuat Gontor bebas dan konsisten tidak tergantung kepada lembaga manapun.

Kemandirian ini sangat penting bagi pondok pesantren. Kiyai Abdullah Syukri Zarkasyi pernah berkata:

“Kalian ini mau nuruti kata hati atau nuruti kata orang?

Kalau nuruti kata hati, jangan pedulikan kata orang. Sebab orang itu kita bergerak kemanapun pasti dikomentari. Saya dulu buka UKK (koperasi Guru) dan KUK (Toko besi pesantren) dan Toko Buku saja habis-habisan dikomentari, dibilang Kyai Bisnis, Kyai Mata duitan, Kyai Matre, tapi saya jalan terus.

Sekarang semua baru terbuka, pada ramai-ramai ikut-ikutan buka usaha. Saya tahu bahwa Pesantren ini butuh biaya, utamanya untuk kesejahteraan Guru. Tapi bagaimana biar ini tidak membebani santri, kesejahteraan Guru tidak boleh diambilkan dari dana santri.

Kenapa?

*Biar para santri tidak berkata “Kamu kan sudah saya bayar….!!”*

Ini yang ingin saya hindari, maka saya buat Unit-Unit Usaha yang saat ini mencapai 23 buah. Itu semua untuk kesejahteraan guru…

Maka jangan dengarkan kata orang jika ingin maju.

Bagus atau jelek, jalani saja. Kalau jelek ya dievaluasi ditengah jalan. Sebab dengerin kata orang itu ndak ada habisnya. Bahkan kita tidak bergerak sekalipun, itu tetap akan dikomentari, ‘ini orang masih hidup atau sudah mati, kok cuma diam saja gerakannya’.

Maka itu, ikuti kata hatimu. Kata Rasulullah “Istafti Qalbak”, Gontor sudah kenyang dicaci maki, Gontor juga sudah kenyang dipuji-puji…..!”

*8. Anomali Ujian*

Paradigma lain yang dipegang oleh Gontor hingga saat ini adalah “Ujian untuk belajar, bukan belajar untuk ujian.” Juga, “Ilmu itu akan didapat sebelum ujian, ketika ujian, dan setelah ujian.” Sehingga “tidak naik kelas” adalah hal biasa, namun tetap menjadi hal yang tidak diharapkan.

Yang terpenting di Gontor bukanlah naik kelas, tetapi seberapa banyak ilmu yang sudah didapat/diamalkan santri. Tidak naik bukan masalah, yang penting ilmunya bertambah. Itu yang harus disyukuri. Pada beberapa siswa, untuk naik kelas, memang dibutuhkan perjuangan ekstra, ada yang sampai 8, 9 bahkan 12 tahun mengenyam pendidikan di Gontor.

Ini juga salah satu alasan kenapa pondok modern Gontor tidak ikut  serta dalam ujian nasional pemerintah.

*9. Guru Tidak Digaji*

Gontor tidak menggaji guru-gurunya, tetapi memberikan kesejahteraan, dengan standar sekadar untuk bekal beribadah atau bekal mengabdi di ponpes. Pesannya, *“Asalkan mau hidup sederhana, insya Allah tidak akan kelaparan.”* Alhamdulillah, kenyataannya, guru-guru Gontor tidak ada yang melarat.

*Kesejahteraan guru itu tidak diambilkan dari SPP, melainkan dari hasil usaha pondok; percetakan buku, pabrik roti, toko material, pertanian dan perkebunan yang dikelola para ustadz sendiri.*

Hal ini membuat guru bisa tampil berwibawa di hadapan para santrinya di depan kelas; mengajar dengan tidak membedakan siapa yang sudah membayar SPP dan siapa yang belum atau malah tidak membayar SPP sama sekali.

Santri dan walinya juga tidak bisa mengatakan, *“Kamu sudah saya gaji”.*

Karena gaji ustadz tidak diambil dari iuran santri, Pondok Modern Gontor dapat menekan biaya SPP ke tingkat serendah mungkin. Ada kalanya Gontor menurunkan uang bayaran pelajar.

*Melihat hal ini, para santri memang benar-benar berhutang jasa pada para guru. Maka, wajar saja jika ada murid yang dikeluarkan karena melawan ustadz.*

Sementara ini saja sedikit dari banyak hal yang tidak mudah dipahami dari Pesantren Gontor. Terlepas dari kekurangan yang ada pada lembaga ini. Semoga pondok ini istiqomah dan lebih baik lagi.

👍👍👍

-Akhukum-

Read more...