Banner 468 x 60px

 

Selasa, 19 Desember 2017

Kisah Sodom di desa Legetang, Dieng Jawa Tengah Indonesia

0 komentar

Azab itu pernah terjadi di sebuah desa bernama Legetang , Dieng th 1955

Buat yg blom pernah dengar dongeng tentang kisah Sodom & Gomorach versi Indonesia

Dalam semalam desa Legetang hilang lenyap seketika...

Ada sekelumit kisah nyata yang pernah terjadi pada sebagian
bangsa ini yang mungkin kita telah lupa. Dan sayangnya, peristiwa
yang penuh dengan pelajaran ini sama sekali tidak disinggung-
singgung sedikit pun di dalam buku pelajaran di sekolah. Kita dan
anak-anak kita tidak pernah tahu jika ada suatu desa yang
penduduknya nyaris sama dengan kaum Sodom-Gomorah, senang
bermaksiat, yang terkubur seluruhnya dalam satu malam hingga
tidak bersisa. Satu desa bersama seluruh penduduknya lenyap dalam
satu malam tertutup puncak sebuah gunung yang berada agak jauh
dari lokasi desa itu.
Inilah kisah tentang Dukuh Legetang, yang masuk dalam wilayah
Banjarnegara, Jawa Tengah. Kejadiannya di tahun 1955.
Pada saat itu, Dukuh Legetang yang terletak di Desa Pekasiran,
Kecamatan Batur, Banjarnegara, merupakan sebuah dukuh yang
makmur. Berbagai kesuksesan di bidang pertanian menghiasi
kehidupan dukuh (desa) itu.
Penduduknya cukup makmur dan kebanyakan para petani yang
cukup sukses. Mereka bertani sayuran, kentang, wortel, kobis, dan
sebagainya.
Berbagai kesuksesan duniawi yang berhubungan dengan pertanian
menghiasi dukuh Legetang. Misalnya apabila di daerah lain tidak
panen tetapi mereka panen berlimpah. Kualitas buah dan sayur
yang dihasilkan juga lebih baik dari yang lain.
Namun bukannya mereka bersyukur, dengan segala kenikmatan ini
mereka malah banyak melakukan kemaksiatan. Barangkali ini yang
dinamakan “istidraj” atau disesatkan Allah dengan cara diberi
rezeki yang banyak namun orang tersebut akhirnya makin tenggelam
dalam kesesatan.
Masyarakat Dukuh Legetang umumnya ahli maksiat. Perjudian di
dukuh ini merajalela, begitu pula minum-minuman keras. Tiap malam
mereka mengadakan pentas Lengger, sebuah kesenian tradisional
yang dibawakan oleh para penari perempuan, yang sering berujung
kepada perzinaan. Ada juga anak yang malah melakukan
kemaksiatan bersama ibunya sendiri. Beragam kemaksiatan lain
sudah sedemikian parah di dukuh ini.
Pada suatu malam, 17 April 1955, turun hujan yang amat lebat di
dukuh itu. Tapi masyarakat Dukuh Legetang masih saja tenggelam
dalam kemaksiatan. Barulah pada tengah malam hujan reda. Tiba-
tiba terdengar suara keras seperti sebuah bom besar dijatuhkan di
sana, atau seperti suara benda yang teramat berat jatuh. Suara
itu terdengar sampai ke desa-desa tetangganya. Namun malam itu
tidak ada satu pun yang berani keluar karena selain suasana
teramat gelap, jalanan pun sangat licin.
Pada pagi harinya, masyarakat yang ada di sekitar Dukuh Legetang
yang penasaran dengan suara yang amat keras itu barulah keluar
rumah dan ingin memeriksa bunyi apakah itu yang terdengar amat
Cumiakkan telingan tadi malam. Mereka sangat kaget ketika di
kejauhan terlihat puncak Gunung Pengamun-amun sudah terbelah,
rompal. Dan mereka lebih kaget bukan kepalang ketika melihat Dukuh
Legetang sudah tertimbun tanah dari irisan puncak gunung
tersebut. Bukan saja tertimbun tapi sudah berubah menjadi sebuah
bukit, dengan mengubur seluruh dukuh beserta warganya. Dukuh
Legetang yang tadinya berupa lembah, kini sudah menjadi sebuah
gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya mati.
Gegerlah kawasan Dieng…
Seperti diceritakan oleh salah satu saksi hidup peristiwa ini, Toyib
(71) ‘’Suara ‘guntur ’-nya (sebutan longsor di daerah setempat) itu
sampai terdengar ke rumah saya. Padahal, rumah saya Desa
Kepakisan,’’ kisah Toyib yang saat peristiwa itu berusia 11 tahun.
Lanjut Toyib, akan tetapi karena gelapnya malam dan hawa dingin
menusuk tulang, membuat warga yang mendengar suara
mengejutkan itu tidak berani keluar rumah untuk memeriksanya.
Baru esok paginya diketahui, ternyata suara itu berasal dari
longsoran lereng sisi tenggara Gunung Pengamun-amun yang tepat
menimpa Dukuh Legetang. Dari kejauhan terlihat puncak Gunung
Pengamun-amun sudah ‘rompal’ (Jw. Terbelah).
Bukan saja tertimpa tapi juga berubah menjadi sebuah bukit yang
mengubur seluruh dukuh beserta warganya. Dukuh Legetang yang
tadinya berupa lembah, kini berubah menjadi gundukan tanah
menyerupai bukit.
Menyadari peristiwa itu, sontak masyarakat di sekitar Dukuh
Legetang terkejut. Kemudian banyak yang berteriak ‘Legetang
guntur !’, situasi saat itu menjadi ramai dan membuat masyarakat
berbondong-bondong untuk melihat lokasi kejadian.
‘’Walaupun dusun yang lain juga hampir sama, tapi Dukuh Legetang
sudah terlalu parah, terutama maksiat-maksiat masalah seks
bebas,’’ kata Toyib.
Dari 351 korban jiwa, terdapat 19 orang yang berasal dari luar
Dukuh Legetang. Sementara itu, masih ada dua orang warga asli
Legetang yang selamat dari bencana tersebut.
‘’Yang hidup cuma disisakan dua sama Allah, itu perempuan semua.
Mungkin disisakan dua biar untuk sejarah keadaan desa sini, tapi
sekarang sudah meninggal,’’ imbuhnya.
Masyarakat sekitar terheran-heran. Seandainya Gunung Pengamun-
amun sekedar longsor, maka longsoran itu pasti hanya akan
menimpa lokasi di bawahnya. Akan tetapi kejadian ini jelas bukan
longsornya gunung. Antara Dukuh Legetang dan Gunung Pengamun-
amun terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih
ada. Namun sungai dan jurang itu sama sekali tidak terkena
longsoran. Jadi kesimpulannya, potongan gunung itu malam tadi
terangkat dan jatuh menimpa dukuh Legetang.
Siapa yang mampu mengangkat separo gunung itu kalau bukan Allah
Yang Maha Kuasa?
Quote:
Dan apabila gunung-gunung diterbangkan,” (QS. at-Takwir: 3).
Untuk memperingati kejadian itu, pemerintah setempat mendirikan
sebuah tugu yang hari ini masih bisa dilihat siapa pun.
Ditugu tersebut ditulis dengan plat logam:
Quote:
“TUGU PERINGATAN ATAS TEWASNJA 332 ORANG
PENDUDUK DUKUH LEGETANG
SERTA 19 ORANG TAMU DARI LAIN-LAIN DESA
SEBAGAI AKIBAT LONGSORNJA GUNUNG PENGAMUN-AMUN
PADA TG. 16/17-4-1955″
Salah seorang saksi tragedi Legetang, Suhuri warga Pekasiran RT
03/04 yang kini berusia sekitar 72 tahun mengatakan, musibah
terjadi malam hari pukul 23.00 saat musim hujan. ”Saya dan
beberapa teman malam itu tidur di masjid. Saya baru dengar kabar
gunung Pengamunamun longsor jam tiga pagi,” katanya. Suhuri
mengaku lemas seketika begitu mendengar kabar tersebut, karena
kakak kandungnya, Ahmad Ahyar, bersama istri dan 6 anaknya
tinggal di dusun Legetang. Namun Suhuri maupun keluarganya dan
warga lain tak berani langsung ke dusun yang berjarak sekitar 800
meter dari pusat desa Pekasiran, karena beredar kabar tanah dari
lereng gunung Pengamunamun masih terus bergerak.
Lenyapnya desa Legetang dan penghuninya juga menyimpan
misteri, karena Suhuri dan beberapa warga Desa Pekasiran lain
seusianya yang kini masih hidup mengatakan, antara kaki gunung
sampai perbatasan kawasan pemukiman di dusun itu sama sekali
tidak tertimbun, padahal jaraknya beberapa ratus meter.
”Longsoran tanah itu seperti terbang dari lereng gunung dan jatuh
tepat di pemukiman. Sangat aneh”, kata Suhuri sembari
menjelaskan, gejala lereng gunung akan longsor sudak diketahui 70
hari sebelum kejadian. Para pencari rumput pakan ternak dan kayu
bakar untuk mengasap tembakau rajangan di samping untuk
memasak, melihat ada retakan memanjang dan cukup dalam di
tempat itu. Tapi tanda-tanda tadi tak membuat orang waspada,
meski sering jadi bahan obrolan di Legetang. Orang baru
menghubung-hubungkan soal retakan di gunung itu setelah
Legetang kiamat,” katanya.
Waktu itu semua orang tercengang dan suasana mencekam melihat
seluruh kawasan dusun Legetang terkubur longsoran tanah. Tak ada
sedikit pun bagian rumah yang kelihatan. Tanda-tanda kehidupan
penghuninya juga tak ada, kenang Suhuri.
Sungguh kisah tenggelamnya dukuh Legetang ini menjadi
peringatan bagi kita semua bahwa azab Allah swt yang seketika itu
tak hanya terjadi di masa lampau, di masa para nabi, tetapi azab
itu pun bisa menimpa kita di zaman ini. Bahwa sangat mudah bagi
Allah swt untuk mengazab manusia-manusia lalim dan durjana
dalam hitungan detik. Andaikan di muka bumi ini tak ada lagi
hamba-hamba-NYa yang bermunajat di tengah malam menghiba
ampunan-Nya, mungkin dunia ini sudah kiamat.
Jika Anda dari daerah Dieng menuju ke arah (bekas) dukuh Legatang
maka akan melewati sebuah desa bernama Pakisan. Sepanjang jalan
itu Anda mungkin akan heran melihat wanita-wanitanya banyak
yang memakai jilbab panjang dan atau cadar. Memang sejak dulu
masyarakat Pakisan itu masyarakat yang agamis, bertolak belakang
dengan dukuh Legetang, tetangga desanya yang penuh dengan
kemaksiatan.
Wallahu a’lam bisshawab.

https://m.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/desa-yang-hilang-kisah-nyata-sodom-gomorah-di-banjarnegara.htm

0 komentar:

Posting Komentar