APAKAH BUNGA HALAL KARENA ALASAN INFLASI ?
Bagi sebagian dari kalangan ekonom, adanya unsur BUNGA dalam transaksi utang-piutang adalah sesuatu yang wajar, bahkan dapat dikatakan sebagai kompensasi yang ADIL.
Oleh karena itu, bunga yang muncul dalam utang-piutang itu dihukumi HALAL.
Bagaimana argumennya?
Argumennya, fakta perekonomian menunjukkan bahwa nilai uang itu selalu mengalami PENURUNAN.
Jumlah uang masa kini mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada jumlah yang sama pada masa yang akan datang.
Oleh karena itu, bunga itu perlu diberikan dalam utang-piutang sebagai kompensasi untuk mengimbangi penurunan nilai dari uang tersebut.
Dengan kata lain, bunga itu perlu diberikan untuk mengimbangi laju INFLASI yang mengakibatkan menyusutnya nilai uang tersebut.
Dengan demikian, bunga itu tidak bisa dikatakan sebagai TAMBAHAN atau MANFAAT yang diberikan atas jasa utang-piutang, sebagaimana Hadits Nabi SAW:
كل قرض جر منفعة فهو وجه من وجوه الربا
“Setiap pinjam-meminjam yang menghasilkan manfaat adalah salah satu cabang daripada riba” (HR. Baihaqi).
Mengapa bunga tidak dapat dikatakan sebagai tambahan atau manfaat dari utang-piutang?
Sebab, dengan adanya bunga itu justru membuat jumlah nilai utang pada masa sekarang menjadi SAMA dengan nilai pengembalian utang di masa yang akan datang.
Kesimpulannya, bunga tidak dapat disamakan dengan RIBA. Bunga yang diberikan itu justru akan membuat transaksi utang-piutang menjadi ADIL.
Sebaliknya, jika dalam utang-piutang itu tidak ada tambangan bunganya, justru akan membuat pihak yang menghutangi TERZALIMI.
Mengapa?
Sebab, jika nilai uang yang dikembalikan itu jumlahnya sama, berarti nilai uang dari pihak pemberi utang akan menurun. Ini adalah kezaliman.
Maka, sebagian ekonom berpendapat bahwa bunga bank itu HALAL, karena untuk mengimbangi inflasi.
Apakah masih sulit untuk difahami?
Jika kita masih sulit untuk memahaminya, kita harus memahami apa yang dimaksud dengan INFLASI.
Secara sederhana, yang dimaksud dengan inflasi adalah kenaikan harga-harga secara umum.
Kenaikan harga satu atau dua jenis barang saja dan tidak menyeret kenaikan harga barang-barang lain, tidak dapat disebut sebagai inflasi.
Demikian juga kenaikan harga secara musiman, sebagaimana yang terjadi pada hari-hari raya, tidak dapat disebut sebagai inflasi.
Dengan kata lain, inflasi adalah fenomena dimana jumlah uang yang beredar LEBIH BANYAK daripada jumlah barang dan jasa di pasar.
Inflasi ditunjukkan oleh penurunan nilai mata uang kertas (fiat money).
Contoh: uang Rp 100 ribu pada tahun 2009, berbeda nilainya dengan uang Rp 100 ribu tahun 2019 sekarang.
Itulah sebabnya, menurut pendapat sebagian ekonom, adanya bunga dari utang-piutang adalah suatu kewajaran sebagai imbangan terjadinya inflasi.
Nah, bagaimana kita dapat menjawab pendapat di atas?
Untuk menjawab pendapat ini, kita dapat melihat dalam beberapa segi.
Pertama, pendapat ini tidak dapat diterima, karena pendapat ini hanya berdasarkan DALIL AQLI (logika), bukan berdasarkan DALIL SYAR’I (wahyu).
Berbicara hukum Islam, artinya adalah berbicara hukum berdasarkan wahyu Allah (Al Qur`an dan As Sunnah), bukan hukum berdasarkan akal manusia.
Ketentuan ini berdasarkan dalil-dalil yang mewajibkan bagi kita untuk mengikuti hukum wahyu dari Allah SWT, misalnya dalam QS Al Maidah: 48 dan 49, QS Al Maidah: 50, QS Al A’raf: 3 dll.
Kedua, sesungguhnya kebijakan negara mencetak uang kertas (fiat money) adalah sebuah kesalahan.
Mengapa?
Karena, uang kertas tidak mempunyai nilai intrinsik (nilai pada dirinya sendiri), sehingga menyebabkan terjadinya INFLASI yang terus menerus.
Seharusnya yang dicetak adalah uang berbasis LOGAM MULIA (dinar dan dirham) yang anti inflasi, sebagaimana yang telah ditentukan dalam sistem ekonomi Islam.
Pada zaman Nabi SAW, harga 1 ekor kambing adalah 1 dinar, di zaman sekarang harganya masih tetap 1 dinar.
Harga dari 1 ekor ayam di zaman Nabi SAW adalah 1 dirham. Harga 1 ekor ayam pada masa sekarang juga tetap 1 dirham.
Dengan demikian, dinar dan dirham selama 1400 tahun tetap STABIL,
tidak mengalami inflasi sama sekali.
Oleh karena itu, membolehkan riba untuk mengimbangi inflasi akibat merosotnya nilai uang kertas, itu adalah sama saja dengan mengoreksi kesalahan dengan membuat kesalahan baru, atau “MENGATASI MASALAH DENGAN MASALAH”.
Seperti halnya membersihkan kotoran (yang najis) pada baju dengan menggunakan darah (yang juga najis).
Seharusnya, membersihkan kotoran itu dengan menggunakan air mutlak yang suci, bukan menggunakan darah yang sama-sama najis.
Ketiga, kita juga dapat melihat kenyataan bahwa dalam perekonomian itu tidak selalu mengalami inflasi.
Terkadang perekonomian bisa mengalami inflasi, terkadang juga mengalami kondisi yang sebaliknya, yaitu DEFLASI.
Jika pengambilan bunga yang bersifat tetap di depan itu dianggap adil, karena untuk mengimbangi terjadinya inflasi, maka hal itu tidak sesuai dengan fakta dalam perekonomian.
Sebab, dalam kondisi perekonomian mengalami deflasi, maka pengutang akan semakin terzalimi dengan keberadaan bunga tersebut.
Dari hasil uraian di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa keberadaan bunga sebagai kompensasi yang adil dari utang-piutang, sesungguhnya tidak sesuai dengan fakta dalam perekonomian.