Hasyim Muzadi : Tirakat Kyai Ahmad Sahal Salah Satu Faktor Yang Membuat Gontor Besar
Munir SiqoMarch 30th, 2016, 8:42 amNo comment 1016 views ★★★★★
Share with:
KH._Ahmad_SahalDari ketiga Trimurti , Kyai Ahmad Sahal adalah putra paling tua dari Kyai Santoso Anom Besari. Lahir di desa Gontor Ponorogo pada tanggal 22 mei 1901. Putera kelima dari Kyai Santoso Anom Besari tersebut adalah pelopor berdirinya Gontor.
Sekolah Rendah (Vervolk School) atau Sekolah Ongko Loro. Setamat Sekolah Rendah beliau mondok di berbagai pondok pesantren diantarnya adalah pondok pesantren Kauman Ponorogo; pondok Joresan Ponorogo; pondok Josari Ponorogo; Pondok Durisawo Ponorogo; Siwalan Panji Sidoarjo; Pondok Termas Pacitan. Setelah menjelajah berbagai kitab di berbagai Pondok pesantren, beliau masuk ke sekolah Belanda Algemeene Nederlandsch Verbon ( Sekolah pegawai di Zaman penjajahan Belanda), tahun 1919-1921.
Berdasarkan beberapa sumber, KH Ahmad Sahal dahulu dikenal sebagai Kyai yang berkharisma. Juga dirinya dikenal sebagai sosok yang “urat lelahnya sudah putus”. Artinya dalam berjuang untuk kepentingan islam tidak pernah lelah. Bahkan mantan ketua PBNU yang juga alumni Gontor KH Hasyim Muzadi mengatakan, “Gontor harus berterima kasih kepada Kyai Sahal, karena beliaulah yang menirakati pondok Gontor yang semula hutan menjadi sekarang,” katanya.
Bahkan berdasarkan cerita alumni senior, Kyai Sahal mempunyai keistimewaan sehingga para warok se Ponorogo gentar saat mendengar nama Kyai Sahal. Hanya saja Kyai Sahal adalah sosok yang rendah hati. Pernah Kyai Imam Zarkasyi bercerita tentang kakaknya, kalau pondok pernah hampir dirampok. Tapi saat itu Kyai Sahal dengan sigap menghadang perampok itu. Hanya dengan beberapa gerakan Kyai Sahal berhasil melumpuhkan perampok itu. Tapi di luar dugaan, Kyai Sahal malah meminta perampok itu untuk mendoakan pondok dan santrinya. Tapi perampok itu enggan dan meminta Kyai Sahal mendoakan dirinya agar bisa bertobat. “Memang saat itu, Ponorogo dikenal menjadi sebagai pusat ilmu kanuragan dan tenaga dalam,” ungkap alumni senior asal NTB tersebut.
Salah satu impian Kyai Sahal ketika membangun pesantren adalah memiliki pesantren Al Qur’an, berdisiplin, berbahasa dan juga mendidik para perempuan. Pasalnya saat itu, belanda masih menjajah Indonesia dan berbuat sewenang-wenang terhadap pribumi.
Pada tahun 1926 Kyai Sahal menjadi utusan ummat Islam daerah Madiun ke Kongres Ummat Islam Indonesia di Surabaya. Dan pada tahun yang sama membuka kembali Pondok Gontor dengan program pendidikan yang dinamakan “Tarbiyatu-l-Athfal“. Setahun kemudian mendirikan Pandu Bintang Islam dan klub olah raga dan kesenian yang diberi nama “RIBATA” (Riyadhatu-l-Badaniyah Tarbiyatu-l-Athfal). Sejak tahun 1929 mendirikan kursus Kader dan Barisan Muballigihin yang berakhir hingga tahun 1932. Pada tahun 1935 beliau mengetahui Ikatan Taman Perguruan Islam (TPI), yaitu suatu ikatan sekokolah-sekolah yang didirikan oleh alumni-alumni TA di desa-desa sekitar gontor. Pada tahun 1937 mendirikan organisasi pelajar Islam yang di beri nama “Raudlatu-l-Muta'allimin”. Selain itu beliau juga mendirikan dan memimpin Tarbiyatu-l-Ikhwan (Barisan Pemuda) dan Tabiyatu-l-Mar'ah (Barisan Wanita).
Pada tahun 1977 tanggal 9 April tepat jam 19.00 WIB beliau wafat menghadap Allah SWT. Meninggalkan seorang istri (ibu Sutichah Sahal) dan sembilan orang putra dan putri, mereka itu adalah: 1) Drs. H. Ali saifullah, alumni Fak. Pedagogy UGM, 2) Ir. Moh. Ghozi, alumni Fak. Pertanian UGM, 3) Siti Arsiyah Zaini (istri Drs. H.M. Zainy). 4) Dra. Ruqoyyah Fathurrahman, alumni Fak. Ilmu Pendidikan IKIP Jakarta. 5) Siti Utami Bakri SH., alumni Fak. Hukum Unibraw Malang, 6) KH. Hasan Abdullah Sahal, alumni Universitas Islam Madinah dan Al-Azhar Cairo, salah seorang Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, 7) Dra. Aminah Mukhtar, M.Ag., alumni S 2 Universitas Muhammadiyah Malang, Pengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Mawaddah Coper, Jetis , Ponorogo. 8) H. Ahmad Tauhid Sahal, Guru KMI Pondok Modern Darussalam Gontor. 9) Drs Imam Budiono, alumni Fak. Tarbiyah IAIN Yogyakarta.
Nasehat Kyai Ahmad Sahal
Saya berbicara kali ini betul-betul dengan ikhlas. Hanya akan saya ambil sedikit-sedikit dan singkatnya atau pucuknya saja. Semua yang akan saya sampaikan ini bahkan sedikitnya direkam dan rekaman ini nanti mudah menjadi buku dan dapat dibaca oleh seluruh umat, sampai-sampai pada anak cucu saya sendiri dan anak-anakku sekalan yang ada. Sebagai mukaddimah, jangan sampai salam terima, kalau pondok modern, Pak Sahal, ataupun Pak Zarkasyi, itu anti kepada siapaun yang menjadi pegawai, anti kepada priyayi, anti kepada buruh, tidak! Sama sekali tidak. Ini supaya dicatat lebih dahulu, saya tidak menghalangi, saya tidak anti, saya tidak memusuhi orang yang menjadi pegawai. Maka di sini saya tekankan di dalam niatmu. Jangan salah niat, kalau sampai salah niat akan rugi hidupumu, selama hidupmu hanya akan rugi karena salah niat. Kalau saya, rumah tangga saya, anak-istri-cucu saya kebetulan kecukupan, jangan dikatakan saya ini bangga tapi hanya syukur, hanya kebetulan, bukan sombong bukan bangga. Umpamanya masuk di pondok modern ini ingin jadi pegawai, itu berarti niatmu sudah kalang kabut.
Jangan sampai niatmu itu rusak, maka di sini saya beri jalan, bagaimana cara orang hidup. Kalau sekarang anak-anak ini kebetulan melarat orang tuanya, jangan kecil hati, sekiranya anak-anak ini kaya orang tuanya, maka jangan besar hati. Ini diantaranya yang saya anggap penting dalam pembicaraan saya ini. Saya sudah tidak punya apa-apa tetapi berani hidup, BERANI HIDUP TAK TAKUT MATI, TAKUT MATI JANGAN HIDUP, TAKUT HIDUP MATI SAJA, ini semboyan saya. Segala titah apapun, cacing-cacing, kutu-kutu, walang, kalajengking, kodok, kadal, semut, semua sudah dijamin rizkinya oleh Allah, ini yang saya pegang, wamaa min daabbatin fi-l-ardhi illa ‘alallahi rizquhaa. Harrik yadaka undzil alaika rizqo, ini harus diingat, gerakkan tanganmu dan Allah akan menurunkan rizki kepadamu. Sungguh saya sudah tidak punya apa-apa. Konsekwensinya saya digoda sampai melarat habis-habisan, tapi perkiraan saya tidak sampe lepas “Kumlawe Gumreged.” Kumlawe artinya tangan digerakkan dan gumreged artiunya makan (mempunyai niat dan kehendak) Jangan kecil hati karena tidak menjadi pegawai, menghadapi hidup jangan kecil hati, betul-betul jangan kecil hati.
Pada suatu masa, beban akan menimpa keluarga sebagaimana yang pernah dialami keluarga saya, bagaimana orang tua saya menyekolahkan anak-anaknya, apa yang saya pakai untuk menyekolahkan anak saya. Keponakan saya sekolah ini, anak Pak Lurak sekolah HIS yang uang sekolahnya sampe 3 Gulden atau 3 Rupiah, artinya padi satu kwital. Tapi saya Bismillah , tanah saya yang sebelah sana sebanyak seperempat hektar telah saya wakafkan, yang sebelah situ setengah hektar pun sudah saya wakafkan. Hanya tanaman itu (pohon kelapa) selama anak Pak Sahal masih sekolah hasilnya masih tetap dipungut untuk menyekolahkan anak Pak Sahal. Yang berarti anak-anak itu akan meneruskan cita-cita Pak Sahal. Itu di antara nasib yang saya alami tetapi tetap berani, berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja.
Tak perlu korupsi bisa hidup. Jangan kecil hati, jangan edan-edanan, saya tidak anti kalau nanti anak-anakku menjadi mahasiswa, menjadi sarjana, kemudian menjadi pegawai, jadi buruh, gajinya sebulan dua puluh lima ribu sampai lima puluh ribu. Tatapi jangan kesana tekananannya, jangan terlalu menggaris bawahi ke sana, sampai-sampai lupa kepada tugasnya. Kalau orang sudah menjadi pegawai, mati otaknya, ini tidak semua, tapi pada umumnya. Sudah sekolah setengan mati, masuk Tsanawiyah terus ke Gontor, lalu menjadi mahasiswa, akhirnya menjadi pegawai, lupa segalnya. Kitabnya tidak dibaca lagi, tabligh tidak mau, nasib rakyat tidak diperdulikan, hanya mengumpul dengan anak-istrinya, khianat …….. khianat. Hanya akan menghitung–hitung tinggal berapa ini? Kurang berapa hari lagi sebulan? Kapan naik pangkatnya? Kapan naik gaji? Kapan ini? Kapan itu? Hidupnya jor-joran dangan kawan-kawannya. Na’udzubillah. Sudah mundak sekian lamanya belajar agama seperti tafsir, hadits, dan lainnya. Tidak untuk mengurus tabligh, tidak untuk ngurus, tidak untuk apa-apa. Hilang setelah jadi pegawai. Sudah lupa kepada msyarakat, lupa kepada nasib negara, lupa nasib agama.
Masih untung kalau masih mau sembahyang atau Jum’atan, itulah pegawai. Boleh dilihat, jadi pegawai sepuluh atau duapuluh tahun belum bisa membeli rumah, itu biasa, paling-paling kalung sebentar, cincin sebentar, honda sebentar. Jangan sampai anak-anak sekalian menyandarkan warisan orang tua, warisan tidak memberkahi, anggaplah tidak akan menerima warisan. Hidup self help, berani menolong diri sendiri, maka kalau hanya menyandarkan pada oragn tua itu kere, pengemis. Kalau memang jantan, tidak usah menerima warisan, seperti Trimurti, Pal Sahal, Pak Zar, Pak Fanani. Ayah saya hanya memepunyai sawah tidak lebih dari satu hektar, tapi anak-anaknya seperti saya, Pak Lurah, Pak Fanani, Pak Zar dan lainnya sabar. Pegang doran, pegang cangkul, betul-betul petani. Pak Lurah Sepuh, ayahnya Pak Iwuk (Muhsin) juga mencangkul. Saya pun demikian, tetapi tidak kecil hati. Zaman dulu, kalau orang sudah sekolah Belanda itu merasa orang ningrat, merasa sudah terpandang, orang maju, orang yang cerdas, kerena sekolah disekolahkan Belanda. Tapi ayah saya tidak demikian, ayah saya seorang kiai di desa, tetapi terpandang, jujur, adil, dan dicintai. Menjadi murid atau santri pondok modern jangan kecil hati, kamu itu belum apa-apa, besarkan hatimu.
Yen wanio ing gampang, wedhio ing pakewuh, sabarang ora kelakon, ini wasiat Ramayana yang artinya: “Kalau hanya ingin enak saja, takut kesulitan, takut kesukaran hidup, apa saja tidak akan tercapai. Hidup adalah perjuangan, lieben is treigen. Itulah manusia hidup di dunia, jangan takut hidup, ini yang harus dipegang mulai sekarang. Yang lebih penting lagi adalah jujur, percaya kepada Allah, jangan kecil hati. Inilah yang saya amanatkan, amanat yang saya pidatokan, yang pertama kali mengenai iqtishodiyyah, mengenai ekonomi, pangupa jiwa, golek sandang pangan, sanguine urep. Jangan sampai anak-anakku iri kepada kawan-kawannya yang menjadi pegawai, iri kepada yang mendapat gaji, sekali lagi jangan kecil hati, jangan salah niat, ini yang saya tanamkan pertama kali kepada anak-anakku. Jangan takut hidup, yang penting iman kuat, jaga kehormatan Insya Allah cukup rizki. Ini saja anak-anakku, mudah-mudahan ada manfaatnya, ada berkahnya, untuk hidup dunia akhirat, husnul khotimah. Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita yang membacanya. (Munir Abdillah)
Tags: KH Ahmad Sahal
0 komentar:
Posting Komentar