KYAI NUSANTARA
Belakangan ini Kyai Hasan Abdullah Sahal disebut oleh beberapa orang yang fanatik dengan pemerintah dengan sebutan "bukan kyai betulan". Gegara kalimat "Blue Shoe Cant" sepatu biru tidak bisa apa-apa (blusukan). Padahal bagi orang-orang yang mengenal secara pribadi, pasti tahu beliau adalah sosok Kyai yang mengeluarkan pemikirannya selalu dibarengi ilmu dan hati kecil (nurani).
Contoh, saat mengemukakan ketidaksenangannya terhadap seorang Ustadz di televisi yang kerap bermain-main, beliau menggunakan bahasa, "hati saya kok tidak sreg, saat melihat ustadz di televisi lebih banyak bermain ketimbang memberikan ilmu. Atau mungkin hati saya yang banyak dosa, astaghfirullah," ucapnya di hadapan para guru.
Lain hal saat ustadz membandingkan dirinya dengan Abu Rizal Bakrie, "Lebih kaya mana saya dengan Abu Rizal Bakrie? Saya sudah tidak lagi mencari harta. Saya sudah menyerahkan diri (wakaf) saya kepada Dzat yang memiliki semua kekayaan. Sedangkan Abu Rizal Bakrie masih terus mencari uang. Jadi sebenarnya siapa yang lebih kaya?"
Kyai Hasan, sejak dulu konsisten dengan bidangnya yaitu menjadi pengajar. Bahkan Kyai yang hafal 30 Juz ini, tidak pernah meninggalkan tugas menjadi imam sholat jumat di Gontor kecuali sakit dan berada di luar negeri. Jika ada kepentingan di Jakarta beliau pasti menyempatkan pulang untuk mengimami sholat Jum'at di Gontor Ponorogo Jawa Timur.
Tahu tidak, saat acara 90 tahun pondok Gontor, dengan tawadhu Kyai Hasan datang kepada santrinya Menteri Agama Luqman Saifuddin di Jakarta utuk menyampaikan undangan. Lalu santrinya yang saat itu tidak berada di kantor, dengan tergesa-gesa langsung datang ke kantor, "Ustadz kenapa susah payah datang ke sini? kalau antum suruh saya datang ke Gontor saya pasti datang."
Ustadz Hasan adalah sosok yang memegang teguh pendirian. Pernah, saat seorang presiden datang ke Gontor, ajudan kepresidenan mengganti tempat duduk. Sehingga antara tuan rumah (kyai) tidak bisa berbicara langsung dengan tamu (presiden) karena dipisah oleh tempat duduk gubernur. Tidak sesuai dengan adat bertamu, maka Kyai Hasan meminta untuk mengganti tempat duduk tersebut kepada protokoler Presiden. Karena tidak disetujui maka esoknya Kyai Hasan tidak hadir. Beliau selalu berkata, tidak ada yang perlu ditakuti di dunia ini, di atas hanya Allah di bawah hanya tanah.
Apa salahnya, seorang Kyai memperhatikan keadaan bangsa? memperhatikan akhlak bangsa, ekonomi bangsa, kondisi umatnya. Malah kurang benar orang yang mengatakan, kyai urus umat (agama) saja jangan urus politik. Sama halnya, saat Kyai ikut mengembangkan perekonomian umat, lalu ada orang bilang, Kyai urus agama saja, jangan urus ekonomi. Jangan karena kita benci kepada sekelompok orang (politik) membuat kita tidak adil terhadap mereka. Lalu lupakah dengan gerakan Kyai Dahlan, Kyai Hasyim yang ikut andil dalam membangun bangsa (politik) dengan caranya masing-masing.
Semboyan di Gontor adalah "di atas dan untuk semua golongan". Tidak ada kaos partai, kaos ormas bahkan kaos klub sepakbola di dalam pondok. Tidak boleh berkumpul satu daerah kecuali ditentukan waktunya.Sampai jika Kyai Gontor menganut ideologi NU atau Muhammadiyah. Pondok tidak boleh diNUkan atau dimuhammadiyahkan. Jadi bagaimana Gontor akan memihak partai? orang?.
Lalu apa yang terjadi jika ternyata Ustadz Hasan Abdullah Sahal "bukan kyai betulan"? Tentu beliau akan ikut mencalonkan diri menjadi DPR RI. Atau Gubernur Jawa Timur. Bermain proyek. Lalu merestui berdirinya Partai Gontor. Tapi apa kata beliau melalui ketua IKPM saat silaturohim nasional di Cirebon, "Jangan kalian menghajikan orang tua kalian dengan menjual sertifikat tanah orang tua". Artinya bisa jadi begini, alumni ingin membesarkan nama Gontor tapi dengan menggadaikan idelogi Gontor yang "di atas dan untuk semua golongan." Biarlah alumninya mengikuti partai politik, Kyainya harus tetap "ma'sum" dari perselisihan umat.
Berikut beberapa petikan pesan dan nasehat beliau:
“Kaya itu penting, tapi jangan yang penting kaya; yang penting kaya bisa menghalalkan segala cara. Maka kalau bisa orang itu kaya dan sehat. Sehat itu penting, karena maksiat saja perlu sehat, apalagi ketaatan dan kebaikan perlu kesehatan. Berusahalah jadi orang kuat.”
“Hidup itu nikmat dan indah, maka nikmatilah keindahan hidup. Yang membuat tidak nikmat itu manusianya. Allah sudah menjadikan semuanya indah di dunia ini. “Dia-lah yang membuat indah segala sesuatu yang Dia ciptakan” (Qs.[32]: 7).”
“Keindahan dan kenikmatan bagi seorang guru yaitu murid; bagi suami adlh istri; bagi orang tua adlah anak; bagi pemimpin adalah rakyat, dst. Ini surga kita: guru punya murid, murid punya guru,itu surga. Bayangkan murid tidak punya guru, atau guru tidak punya murid. Dokter tidak punya pasien, pasien tidak punya dokter.”
“Guru bukan sekedar mengajar ilmu, tapi juga mengajar kehidupan. Kiai yang bener itu ada di pondok 24 jam, 7 hari seminggu, 31 hari sebulan, dst; pesantren tidak boleh jadi sambilan, mendidik dan mengajar tidak boleh hanya sambilan. Harus totalitas; tenaga, pikiran, hati, dan keikhlasan.”
“Kita syukuri kenikmatan ini, dan kita nikmati kesyukuran ini. Jangan sampe kenikmatan kita disyukuri orang lain, atau kesyukuran kita orang lain yang menikmati. Ramadhan dan Idul Fitri, itu kesyukuran dan kenikmatan kita, jangan sampai malah orang-orang nasrani, yahudi, kapitalis, komunis, dll yang menikmati.”
“Memberi sedekah saat-saat sulit itu bagus, mulia. Memberi sedekah saat lapang itu biasa. Ingat hadis Rasul: “juhdul muqill”, kerja kerasnya orang yang serba terbatas; maka keterbatasan diri tidak boleh membuat orang tidak berbuat kebaikan.”“Maka, jangan sampe jadi manusia yang tidak punya prestasi. Berprestasilah, dan harus punya keunggulan. Berprestasilah dalam kebaikan, kemakrufan dan kebenaran.”
“Di pondok ini semangatnya adalah kebersamaan untuk memberi, bukan kebersamaan untuk bagi-bagi. Ingat, dalam berjuang dan berjihad jangan berpikir dapat apa, berapa, itu sampah-sampah perjuangan.”
“Di pondok ini kita tanamkan “bom,” yaitu “bom spiritual,” bukan bom kimiawi. Kita didik santri-santri ini menjadi “bom spiritual,” untuk “mengebom” sesuatu yang tidak benar, kemungkaran dan kemunduran.”
“Tiap orang punyz aib, tiap lembaga punya kekurangan. Boleh membaca aib orang, tapi jangan membacakannya. Bedakan antara membaca dan membacakan. Suasana sekarang ini semrawut, karena saling membacakan aib orang lain.”
“Ulama yang mempertahankan harga diri dan meninggalkan persatuan umat, menjauhi ukhuwah Islamiyah, tidak usah diikuti, itu ulama palsu. Umat ditinggalkan ulama itu pahit, tapi lebih pahit lagi kalo ulama ditinggalkan umat.”
*Rudy bin Abdurrahman*